selamat datang di BLOG UMAT ini-silakan ambil informasi yang dibutuhkan-terimakasih untuk komentar Anda-semoga berkah Allah selalu terlimpah kepada kita

Minggu, 12 Agustus 2012

Tumbilotohe


Bila berkesempatan mengunjungi “Serambi Madinah” Gorontalo pada akhir bulan Ramadhan, Anda akan disuguhi tradisi unik yang disebut “Tumbilotohe” (tumbilo=pasang, tohe=lampu). Pada perayaan ini pada setiap sudut kota akan dipasang pelita sehingga suasana terang benderang.
Tumbilotohe berlangsung selama 3 hari yakni tanggal 27-30 Ramadhan, mulai ba’da maghrib hingga menjelang sahur.
Pada awalnya “Malam Seribu Pelita” ini dimaksudkan sebaga petunjuk jalan bagi warga yang akan melaksanakan zakat fitrah. Menurut sejarah, tradisi ini sudah berlangsung sejak abad 15. Sebagai bahan bakar penerangan digunakan getah damar. Selanjutnya dibungkus dengan janur dan diletakkan diatas kayu. Karena getah damar semakin langka, bahan bakar diganti dengan minyak kelapa (padamala) berlanjut ke minyak tanah, dan pada saat ini sebagian menggunakan listrik.
Sebagian warga masih mempertahankan nilai tradisional, mereka menggunakan botol bekas minuman energi yang diberi sumbu dan tanah, kemudian dipasang pada kerangka bambu atau kayu. Bila ingin ada sentuhan modern seperti warna-warni, maka menggunakan listrik.
Saat ritual Tumbolotohe berlangsung hampir tidak ada sudut yang gelap. Keremangan pelita menghadirkan nuansa yang mempesona. Mulai dari rumah penduduk, jalan, musholla, masjid, kantor instansi pemerintah, kantor gubernur, bahkan di sawah dan sungai sekalipun. Masyarakat menyatu dalam suasana religius dan solidaritas. Di lahan kosong yang cukup luas masyarakat membangun Tumbilotohe dengan bentuk masjid, kitab suci Al Quran hingga kaligrafi.
Ternyata Tumbilotohe mampu menjadi daya tarik bagi warga luar Gorontalo. Banyak warga dari Manado, Palu, Makassar bahkan dari luar pulau dan turis mancanegara sengaja datang untuk menyaksikan perayaan ini. Perjalanan darat maupun udara yang ditempuh pada saat perayaan ini berlangsung akan menjadi perjalanan yang sangat menyenangkan, menyaksikan kerlap-kerlip pelita dalam berbagai bentuk dan warna. Sebuah kreatifitas tradisional religius khas warga Gorontalo.

Kemeriahan pelaksanaan Tumbilotohe tidak hanya terletak pada penyalaan lampu, tetapi ada beberapa ‘asesories’ yang turut meramaikannya, yaitu :
1.   Alikusu (Kerangka Pintu Gerbang). Terdiri dari bambu kuning yang diberi hiasan janur, pohon pisang, tebu dan minyak tanah yang dipasang pada pintu masik rumah, kantor, masjid dan perbatasan wilayah. Pada pintu gerbang terdapat bentuk kubah masjid yang menjadi simbol utama alikusu. Dominasi hiasan alikusu adalah janur kuning. Diatas kerangka digantungkan buah pisang sebagai lambang kesejahteraan, dan tebu yang melambangkan kemanisan, keramahan dan kemuliaan hati menyambut datangnya Idul Fitri.
2.   Bunggo (Meriam Bambu). Beberapa meriam yang terbuat dari bambu disiapkan untuk meramaikan perayaan Tumbilotohe. Bunggo terbuat dari bambu pilihan yang semua ruasnya dilubangi kecuali ruas pangkal. Di dekat ruas pangkal dilubangi untuk mengisikan minyak tanah sekaligus sebagai lubang penyulut api. Setelah minyak tanah dimasukkan dan dibiarkan beberapa saat, uap minyak tanah akan meruap dan bila dinyalakan akan menimbulkan bunyi letusan. Bunggo dinyalakan sampai tiba waktu sahur sekaligus membangunkan warga untuk makan sahur.
Karena sudah menjadi ikon daerah, sejak era gubernur Fadel Muhammad perayaan Tumbilotohe dicanangkan langsung oleh gubernur melalui berbagai perlombaan yang dilaksanakan sebelumnya. Kantor gubernuran yang terletak di atas bukitpun berhias mempercantik diri dengan Tumbilotohe dan dapat disaksikan dari Kota Gorontalo.
Selamat datang di Gorontalo.
@@@
(Disarikan dari berbagai sumber: FNers Gorontalo, Hulontalangi, www.daengbattala.com, dll)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar