selamat datang di BLOG UMAT ini-silakan ambil informasi yang dibutuhkan-terimakasih untuk komentar Anda-semoga berkah Allah selalu terlimpah kepada kita

Senin, 02 Juli 2012

Guru Kaya, Guru yang Berubah

Dari generasi ke generasi predikat ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ melekat pada diri guru. Salah satu makna predikat tersebut adalah bahwa guru harus mengedepankan tindakan yang hasilnya akan dinikmati orang lain, bahkan mungkin dirinya tidak bakal menikmatinya. Menanamlah dan jangan harapkan akan ikut menikmati buahnya dan jangan tanyakan siapa yang akan mengenangnya. Keikhlasan, barangkali itulah intinya.


Sebuah predikat kadangkala meninabobokkan penyandangnya sehingga dia merasa sangat nyaman dengan kondisi sekarang. Toh sudah disebut pahlawan, jadi cukuplah dengan kondisi yang ada. Sekalipun tidak sepenuhnya benar, namun jika kondisi  ini dibiarkan dia akan tertinggal jaman. Ada sementara pendapat bahwa jangankan mengubah penghasilan, merubah nasibnya sendiri saja guru tak akan mampu. Benarkah demikian?
Jawaban sebenarnya terletak pada diri sendiri. Jika ingin menjadi guru yang dirindukan kehadirannya maka berubahlah menjadi lebih baik. Sebaliknya jika tidak mau berubah maka bersiaplah ketidakhadirannya justru dirindukan siswa. Siapa yang mampu mengubah keadaan? Tidak lain adalah dirinya sendiri (Ar Ra’du: 11).
Ayo Berubah
Coba sebut profesi yang menjadi jawaban ketika seorang anak ditanya cita-citanya kelak. Pasti mereka menjawab dokter, insinyur, banker dan profesi ‘makmur’ lainnya. Jarang yang menyebut guru. Mengapa demikian? Mereka merasa keren dengan menyebut profesi itu sebagai cita-citanya. Kalau dalam bahasa orang dewasa, profesi tersebut memiliki gengsi karena profesionalitas dan gajinya. Profesi tersebut memiliki profesionalitas yang tinggi karena tidak dapat dikerjakan oleh orang yang berprofesi lain. Pekerjaan dokter tentu tidak dapat digantikan oleh seorang insinyur, demikian seterusnya.
Saking tidak diminatinya, guru pernah menjadi predikat untuk menakut-nakuti anak perawan. Seorang ayah yang kehabisan akal menasehati anak gadisnya akan mengakhiri khutbahnya dengan mengatakan “nanti ayah kawinkan engkau dengan seorang guru”. Maka si gadis itupun segera mengubah sikapnya menjadi baik.
Namun demikian aku pernah berbangga atas jawaban seorang muridku saat kutanyakan cita-citanya kelak. Katanya, “Saya ingin menjadi guru seperti Bunda”. Aku penasaran, segera kutanya dia, “Kenapa nak?”. Diapun menjawab lirih, “Ingin jadi guru yang cantik seperti Bunda”. Alamaakk…subhanallah… dia sudah merasa cantik.
Kenyataan-tetaplah kenyataan. Pada akhir tahun 60-an siapapun bisa menjadi guru. Tentara yang sedang bertugas di daerah terpencil bisa menjadi guru. Seseorang yang hanya tamat SLTApun bisa menjadi guru. Di sini ciri profesionalitas guru tidak terlihat, karena dapat dikerjakan oleh profesi lain.
Pada era dimana guru merupakan sebuah jabatan profesi maka seyogyanya keahlian seorang guru melekat dan khas. Kemampuan yang dimilikinya hanya dapat dikerjakan oleh pemilik profesi tersebut dan ada perbedaan saat dilakukan oleh orang lain. Sekaranglah era itu.
Janganlah merasa cukup dan nyaman dengan kemampuan Anda sebagai guru saat ini. Kemampuan yang ada saat ini akan tidak berguna di masa mendatang. Maka jika ingin diterima sebagai guru di masa mendatang segeralah berubah. Keluarlah dari kotak yang selama ini melingkupi Anda. Go out of the box. Dale Carnegie mengatakan “hendaklah pikiran anda selalu terbuka terhadap perubahan, sambut dan rangkullah dia. Hanya dengan manjadi sahabatnya anda akan memperoleh kemajuan”.
Diakui bahwa untuk berubah membutuhkan keyakinan dan hati yang kuat. Akupun demikian. Terinspirasi dari buku “Panggil Saja Aku Ayah”, akupun mulai mengubah diriku. Suatu saat aku katakan pada murid-muridku di SD tempatku mengajar, “Nak, mulai sekarang panggil bu Evi dengan bunda Evi”. Sontak mereka berteriak “Bundaa…”. Terasa ada getaran aneh saat mereka panggil diriku “Bunda”. Getaran yang semakin mendekatkan hatiku ke hati mereka. Mereka terasa lebih dekat dan akrab denganku. Akhirnya panggilan itu menyebar dari mulut ke mulut, dari kelas ke kelas.
Ayolah dekatkan hati kita ke hati mereka. Beranikah Anda merubah penampilan Anda dihadapan murid. Beranikan Anda merapikan kumis Anda yang awut-awutan yang selama ini menjadi simbol kewibawaan Anda. Beranikan tersenyum kepada murid-murid yang Anda anggap bandel? Biarkan mereka panggil Anda dengan panggilan "Ayah" atau "Bunda". Berubah…pasti bisa!
@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar